Rabu, 14 Januari 2015

Fiqih Ikhtilaf NU & Muhamadiyyah

Assalamualaikum wr. wb.
 Salam sambal terong... ... 
salam sejahtera bagi warga indonesia.,
 kita ketahui bersama bahwa diIndonesia memiliki 2 organisasi keagamaan yang besar, yaitu Muhamadiah dan NU. diantara ke 2 organisasi ini tak jarang kita temui adanya kefanatikan yang menyebabkan saling membenarkan fatwa ulama' yang dianutnya dan menyalahkan yang lain, padahal kami kira  masing-masing ulama' dalam mengistimbatkan hukum mempunyai dalil dan pola berfikir sendiri,. oleh karena itu menjadi penting bagi kami untuk menguraikan perbedaan antara fatwa Muhamadiyah dengan NU yang tetunya akan kami sertakan dengan dalilnya.
Adapun masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di sini barangkali
masih sangat jauh untuk mengatakan lengkap, mulai dari masalah muamalah,
ibadah, siayasah. Untuk melakukan penulisan secara konprehenship penulis merasa
belum cukup mampu, selain juga membutuhkan waktu serta bahan penelitian yang
tidak sedikit. Masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di sini hanyalah
masalah-malasah yang sering menjadi bahan diskusi, yang terkadang mengarah
sampai pada perdebatan yang tidak sehat. Masalah-masalah fiqih tersebut, yaitu:
a. Niat shalat
b. Shalat Jumat
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah
d. Shalat Tarawih
e. Dzikir dengan suara keras
f. Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal
g. Hal yang membatalkan wudhu
h. Tawasul
i. Tahlil
j. Rokok
Sebelum dipaparkan lebih rinci tentang masalah-masalah tersebut, barangkali
lebih enak jika kami berikan gambaran awal di mana titik perbedaan-perbedaan
pendapatnya.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
55
a. Niat Shalat: Kaum Nadhdzihiyin berpendapat bahwa niat sholat itu
sunnah dilafalkan dengan ucapan ―Ushally…‖sedangkan Muhammadiyah
berpendapat bahwa niat sholat itu di hati, tidak perlu diucapkan.
b. Shalat Jum‘at: Di Masjid-masjid di mana jama‘ahnya mayoritas warga NU,
shalat Jum‘at didirikan dengan dua adzan, ditambah dengan petugas
yang menjadi Ma‘ashiral. Sementara di masjid-masjid di mana
Muhammadiyah menjadi basis warganya, maka shalat Jum‘at biasanya
diadakan dengan satu kali adzan dan tanpa Ma‘ashiral.
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah berpendapat qunut
Subuh bukan merupakan sesuatu yang disunnahkan atau yang
diwajibkan sedangkan NU menganggapnya sebagai Sunnah Ab‘ad. NU
juga berpendapat bahwa Qunut Nazilah dan Qunut Witir adalah sunnah,
tapi Muhammadiyah berpendapat bahwa Qunut Subuh dan Witir bukan
suatu amalan sunnah.
d. Shalat Tarawih: mengenai Shalat Tarawih Muhammadiyah berpendapat
dikerjakan 8 Raka‘at di tambah Witir 3 Raka‘at, sedangkan NU melakukan
Shalat Witir 20 Raka‘at ditambah 3 Raka‘at Witir.
e. Dzikir dengan Suara Keras: Seusai shalat jama‘ah di kalangan NU
baisanya dilakukan dzikir bersama dengan suara keras, sementara di
kalangan Muhammadiyah tidak demikian, dzikir ba‘da shalat dilakukan
sendiri-sendiri dan dengan suara rendah. Dalam NU juga ada tradisi
menyuarakan dzikir atau puji-pujian sebelum shalat berjama‘ah di masjid.
Juga sebuah tradisi yang dikenal dengan sebutan istighasah. Sementara di
Muhamamdiyah tidak ada kebiasaan tersebut.
f. Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal: sudah sering terjadi perbedaan
waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri di antara NU dan Muhammadiyah.
Hal ini dikarenakan perbedaan metodologi yang mereka gunakan untuk
menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal.
g. Tawassul: tawassul berasal dari kata Wasilah, perantara. Tawassul berarti
mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan
mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
56
perantara. Tawasul merupakan di antara amaliah warga NU yang
terkenal. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa berdoa melalui
perantara atau dengan ber-tawassul adalah tidak boleh hukumnya.
h. Tahlilan: Tahlilan juga salah satu Amaliyah kaum Nadhiyin untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal. NU berpendapat bahwa Tahlil
itu justru dianjurkan, sementara Muhammadiyah sebaliknya, tidak
membolehkannya, disebabkan ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya.
h. Masalah Rokok: Muhammadiyah dalam putusan Tarjihnya yang belum
lama ini dikeluarkan, dengan berani telah mengharamkan rokok.
Sementara NU dengan sekian dasar dan dalil pula menghukumi rokok
dengan makruh.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
57
A. Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam
shalat merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam
menjawab pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafalkan atau tidak, dan apa
hukumnya melafalkan niat dalam shalat?
1. Nahdhatul Ulama
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi
kebiasaan warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang
artinya ―aku berniat melakukan shalat‖. Kalau yang akan dikerjakan shalat
shubuh maka lafadh niatnya yang lengkap menjadi ―Ushalli fardla subhi rak‟ataini
mustaqbilal kiblati ada‟an lillahi ta‟ala‖ (Saya berniat melakukan shalat fardlu subuh
dzuhur dua empat raka‘at dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya
semata-mata karena Allah SWT).
Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram,
demikian Cholil Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa‘il PBNU dalam situs
resmi NU, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi‘iy
(Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah
sunnah. Hal ini dikarena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu‘ dalam
melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika
seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya,
seperti melafalkan niat shalat ‗Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang
dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh
mulut itu (shalat ‗Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati.
Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih
benar.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
58
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat
shalat, Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa
menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu
Hanifah (Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak
disyari‘atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu
terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang
terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir
adalah bid‘ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang
terkena penyakit was-was.
Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafalan
niat dalam suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada
saat melaksanakan ibadah haji.
―Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk
ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun
demikian, menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti
selain haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni
disunnahkannya pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun
demikian, masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu
disyaratkan empat hal yaitu,
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
59
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi
tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan
dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan
(adat), seperti membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang
beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan
ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‗Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori
tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka
hukum melafalkan niat adalah sunnah. Fatwa sunnah melafalkan niat dari NU
juga dikuatkan dengan pendapat Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj:
―Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu
(kekhusyu‟-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari
perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat‖.
Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat (Talaffudz
Binniyah) juga berdasar kepada al-Qur‘an surat ayat (disunnahkannya
melafalkan niat Ayat–ayat Al-Qur‘an berikut:
        
Artinya:
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada
malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
                
          
Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
60
dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.(Q.S Fathir: 10)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah
kalimat tauhid yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir
kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang
diucapkan karena Allah. Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk
diterima dan diberi-Nya pahala.
Melafalkan niat dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat
amalnya oleh Malaikan pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah
yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan
tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji,
wudhu, puasa dsb).
Hadits-Hadist lain yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai
berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau berkata: “Pada suatu
hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang
dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu
pun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”.
(HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau
talafudz bin niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda
ketika tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah
ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat
Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama
Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
61
kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah
Maha Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat
berkurban di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan
niat dengan lisan atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun
menyembelih qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara
shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafalkan niat, menurut
Fuqoha kaum NU adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam
melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu‘an. Karena
melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat
pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
2. Muhammadiyah
Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah, pada pembahasan
masalah shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur‘an dan hadis.
Berkaitan dengan tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist yang
diletakkan dalam pendahuluan HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits
dari Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-
Bukhari).
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa
niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang
memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat
Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat.
Sejauh ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak
menyebutkan secara rinci berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
62
melafalkan niat shalat. Dalam HPT hanya disebutkan bahwa “bila kamu hendak
menjalankan shalat, maka bacalah: "Allahu Akbar" , dengan ikhlas niatmu karena Allah
seraya mengangkat kedua belah tanganmu sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu
pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya
salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah,
jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya
dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut
Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:
                
Artinya:
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan
ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".
Juga hadis rasulullah:
“Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya
untuk melafalkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan
amalan anggota tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota
tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
Oleh karena itu melafalkan niat, bagi Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
63
disunnahkan. Dalil dari fatwa ini jelas, bahwa melafalkan niat tidak pernah
dilakukan Rasulullah saw.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) saat memberikan materi ―Ibadah Praktis Perspektif
Muhammadiyah‖ pada acara Baitul Arqam Karyawan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin mengatakan, bid‘ah
(penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara shalat Nabi
Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam hati
secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan
mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu pun hadis,
baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan
melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat
adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka
niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan
tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.
Berkaitan dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama NU dijadikan dalil
bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang
menolak disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa
apa yang dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia
niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah
mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri
merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam
hati.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
64
B. Shalat Jum’at
Shalat jum‘at adalah ibadah fardhu ‗ain bagi laki-laki yang mukallaf, tak
ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata
cara pelaksanaannya. Kita tidak tentu tidak terkejut ketika shalat Jumat di
kampung orang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda dengan shalat
jumat di kampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru menganggap bahwa
shalat Jumat di kampung ―B‖ salah, penuh bid‘ah, atau telah keluar dari syariat,
hanya karena berbeda pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa
terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara
pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut, antara lain terletak pada
pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan satu kali atau dua kali? Apakah
dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah petugas khotib perlu
menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:
a. Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan
Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke mimbar dan
menguapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum‘at
dilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik
mimbar dan mengucapkan salam.
b. NU berpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah,
sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyah tidak
menganggapnya bagian dari sunnah.
c. Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya memegang tombak ketika
khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.
Memang, kita tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di sebuah
masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai
warga NU, dan sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti ―dikuasai‖
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
65
warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa,
dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi
kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan
dengan maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat
memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.
1. Muhammadiyah
a. Adzan Jumat
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tidak
diterangkan secara rinci mengenai cara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian
pula mengenai pendapat di sekitar shalat Jumat, seperti mengenai berapa kali
adzan, cara penyampain khutbah, maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam memutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat jumat, tarjih
menyatakan: ―Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah
seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun dari mimbar maka
berqamatlah.‖
Dasar dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah
hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai dan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a,
yang berkata: “Adapun seruan pada hari Jum‟ah itu pertama (adzan) tatkala Imam
duduk di atas mimbar, pada masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a,
pada masa Khalifah Umar r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin
banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang
mana pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada
masa Rasululah saw. Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak
dilanjutkan atau ditiru oleh Muhammadiyah.
Perlu kami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah tidak memberi
keterangan yang lebih jauh berkait pengambilan hukum ini. Namun, penulis
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
66
perlu menambahkan alasan-alasan Ulama lain yang sependapat dengan
Muhammadiyah berkaitan masalah adzan Jumat.
Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama karena suatu
alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin banyak
jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau
hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya
waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh karena itu,
beliau memasukkan shalat Jum‘at ke dalamnya dan menetapkan kekhususan
Jum‘at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi‟ah berpendapat bahwa kondisi
sekarang dianggap sudah tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib
naik mimbar. Hampir tidak ada seorang pun yang berjalan beberapa langkah,
melainkan pasti mendengar adzan Jum‘at dari menara-menara masjid. Apalagi
alat-alat pengeras suara telah dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam
penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa, melakukan adzan Jumat sama seperti
yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini termasuk di dalam tashiilul haashil
(berusaha mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan ini tidak boleh, terutama
masalah ini mengandung unsur tambahan atas sunnah yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. tanpa alasan yang membenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkan dengan mencermati lagi sejarah, di
mana ‗Ali bin Abi Thalib r.a ketika berada di Kuffah merasa cukup dengan
sunnah Rasulullah saw tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh ‗Utsman
r.a., hal ini seperti yang diungkap di dalam Tafsir al-Qurthubi.
b. Shalat Qabliyah Jumat
Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat pembahasan khusus
mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih berkaitan
dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap masalah
shalat qabliyah Jumat.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
67
Shalat qabliyah adalah shalat yang mengiringi shalat wajib yang
dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat cuma sekali dan itu
dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat qabliyah pun jadi
tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan
bahwa: khusus shalat tathawwu‟ pada hari Jumat jumrah raka‘atnya tidak
terbatas, sehingga dapat dikerjakan begitu berada di dalam masjid sesudah
tahiyatul Masjid hingga datang Imam shalat, (yang mana Imam tersebut akan
bersalam dan duduk, kemudian adzan dilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudah shalat Jumat dapat dilakukan
dengan dua atau empat Raka‘at. Yang dimaksud Shalat tathawwu‟ di sini adalah
shalat sunnah tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. karena
shalat sunnah qabliyah dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapat Imam Malik, dan sebagian
penganut Hanabilah dalam riwayat yang masyhur. Adapun Dalil yang
menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sebagai
berikut:
Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat
imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar,
tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman
menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam
Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R.
riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar
dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan
adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya
pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama‘ah itu
melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?‖
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyah tentang tidak adanya shalat
qabliyah Jumat.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
68
2. Nahdhatul Ulama
a. Adzan Jumat
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU berpendapat
sunnah hukumnya adzan Jumat dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu tidak
asal-asalan muncul, melainkan ada hujjah dan dalil yang mendasarinya.
NU sepakat bahwa di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin
Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum‘at hanya dilakukan sekali
saja. Penambahan adzan Jumat kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman
bin Affan r.a. sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum‘at
menjadi dua kali.
KH. Cholil Nafis, salah seorang pembesar NU yang mengurusi Lembaga
Bahtsul Masail, menyadari bahwa apa yang dilalukan Khalifah Utsman r.a.
dikarenakan melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya
berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa
shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Apa yang dilakukan Khalifah tersebut,
menurut NU masih dianggap relevan sampai sekarang.
Untuk menguatkan pendapatnya, Cholil Nafis mengutip kitab Shahih al-
Bukhari, di sana dijelaskan:
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu
Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika
masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau
memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan
di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih
al-Bukhari)
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
69
Pendapat NU tentang sunnahnya dua adzan pada shalat Jumat juga
sejalan dengan pendapat Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-
Mu'in, yang mengatakan:
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar
dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama
dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah
satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-
Mu'in: 15)
NU menganggap bahwa ijtihad Utsman sebagai ijma‟ sukuti, yaitu
kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara
tidak mengingkarinya. Ijma‟ sukuti dianggap memiliki landasan yang kuat dari
salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Hal ini sebagaimana
termaktub dalam kitab al-Mawahib al Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh
Cholil Nafis sebagai berikut:
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu
merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain
tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249).
Dalam menjawab apakah pengambilan hukum tersebut tidak mengubah
sunah Rasul? Dengan tegas NY menyatakan tidak! Kenapa tidak? Karena
mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Sebab
Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-
Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Pendapat lain yang sejalan dengan fiqh NU perihal adzan dua kali
sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satu kali adzan meskipun tidak
diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang. Karena perbuatan itu ada yang
dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga tidak
diperintahkan. Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak diperintahkan,
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
70
tetapi juga tidak dilarang, dan mengandung unsur maslahah, selain juga dianggap
ijma‟ sukuti.
b. Shalat Qabliyah Jumat
Dalam masalah shalat qabliyah Jumat NU pendapat bahwa shalat
qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakan dalilnya lebih rajih
(unggul). Pendapat ini sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut
pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat
yang tidak masyhur, demikian Cholil Nafis.
Adapun dalil yang dipakai untuk menyatakan dianjurkannya sholat
sunnah qabliyah Jum'at adalah hadist Rasulullah SAW yang artinya:
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua raka‟at".
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin
Zubair).
Dari hadist di atas maka dapat dimengerti bahwa semua shalat fardhu,
termasuk shalat Jumat terdapat shalat sunnah qabliyah.
Selain hadist di atas juga ada hadist Rasulullah saw lainnya, yang artinya:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al-Ghathafani datang (ke
masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya:
Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi
SAW bersabda: Shalatlah dua raka‟at dan ringankan saja (jangan membaca surat
panjang-panjang)‖ (Sunan Ibn Majah).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawi menegaskan dalam kitab
al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab: ―Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah
shalat jum‟at. Paling sedikit dua raka‟at sebelum dan sesudah shalat jum‟at. Namun
yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka‟at sebelum dan sesudah shalat
Jum‟at‖. (Al Majmu‟, Juz 4: 9)
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
71
c. Memegang Tongkat pada Saat Khutbah
Tarjih Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah ketika
khatbah, khatib membawa tombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau
tidak? Dalam HPT hanya dinyatakan: ―Sebelum shalat hendaklah Imam
berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di
dalam khutbah Imam supaya membaca ayat al-Qur‘an dan memberikan
peringatan-peringatan kepada orang banyak‖. Tuntunan demikian didasarkan
pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari Hadist Abu Hurairah,
yang artinya:
“Karena hadist riyawat jama‟ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin Samurah
r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara
dua khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur‟an dan memberi peringatan kepada
orang banyak.”
Sementara itu NU, melalui lembaga Bahtsul Masail sependapat dengan
jumhur ulama fiqh yang mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib
memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah.
Dalam masalah ini NU bermadzhab Syafi‘iyyah, di mana di dalam kitab
al-Umm diterangkan: Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita)
bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang
mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah.
Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan
dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika
berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat Jum'at pada
suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada
sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud).
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
72
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:
Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama'
ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua
tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan
yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua
tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang
lain". (Ihya' 'Ulum al-Din)
Memegang tongkat selama khotbah selain merupakan sunnah (pernah
dilakukan Rasul) juga dianjurkannya sebagai cara untuk mengikat hati (agar
lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam
kitab Subulus Salam, juz II, sebagaimana dikutip Cholil Nafis.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
73
C. Qunut
Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan dalam masalah Qunut, yakni
Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga macam qunut ini adalah
masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam, perbedaan itu
juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.
Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada Imam Malik dan
Syafi‘i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah ab‘adh,
sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk melakukan
sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut
(berdoa ―allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.
Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya sunnah hai‘ah (kalau
lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena Nabi juga
melakukannya. Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa
qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi
qunut nazilah juga boleh dilakukan selama tidak menggunakan kutukan dan
permpohonan pembalasan dendam terhadap perorangan.
Kemudian, dalam masalah qunut witir, NU memberikan beberapa pilihan
dari pendapat ulama salaf. Sebagaimana ditulis KH Cholil Nafis, bahwa menurut
pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan diraka‘at yang
ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam
Ahmad bin Hambal (Hanbaliah) qunut witir dilakukan setelah ruku‘. Menurut
pengikut Imam Syafi‘i (Syafi‘iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir
setelah ruku‘ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut
pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan. Namun demikian, dalam
tataran keseharian warga NU lebih condong memakai pendapat Imam Syafi'i
dalam masalah qunut witir. Sementara Muhammadiyah sendiri, sebagaimana
ditulis Abdul Munir Mulkan (2005) merujuk pada HPT Muhammadiyah bahwa
untuk qunut witir Muhammadiyah masih menangguhkan pengambilan
keputusannya.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
74
Untuk itu pada bab masalah qunut, hanya akan kami jabarkan pendapat
qunut nazilah dan qunut subuh dari ulama NU dan Muhammadiyah, sedangkan
untuk qunut witir hanya akan kami jabarkan pendapat dari kalangan NU saja.
1. Nahdhatul Ulama
a. Qunut Nazilah
Dalam sebuah tanya jawab Gus Mus tentang Qunut Nazilah yang pernah
dimuat www.pesantrenvirtual.com, KH. Musthafa Bisri atau yang akrab di sapa
Gus Mus menulis bahwa mengartikan qunut dengan tunduk; merendahkan diri
kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian, dalam
perkembangannya, qunut digunakan untuk doa tertentu di dalam shalat.
Nazilah sendiri biasa diartikan dengan ―musibah.‖ Nabi Muhammad SAW,
demikian tulis Gus Mus, pernah berqunut pada setiap lima waktu shalat, yaitu
pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau
malapetaka, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas.
Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan tanpa
sebab yang khusus.
Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka
yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas
permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang
Qura‘ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum
mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al-
Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang
Quraa tersebut. Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk
kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah.
Qunut Nazilah adalah sunnah hai‘ah hukumnya (kalau lupa tertingal tidak
disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana menurut Imam Syafi'i, qunut
nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir,
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
75
baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum
tinggal mengamini doa imam.
Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh kalangan NU antara lain hadist
Nabi yang artinya:
“Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas
kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku‟ (HR. Bukhori dan
Ahmad).
Sementara bacaan doa untuk qunut nazilah sama dengan qunut subuh.
اللَّ هُ لَّ هْ ا دِ دِ دِف مَ ي هْ امَ مَ هْ مَ مَ مَ دِ دِ دِف مَ ي هْ مَ هْ ف مَ , مَ مَ تالَّ دِ دِف مَ ي هْ مَ مَ تالَّ هْ ف مَ , مَ مَ دِ ا هْ ادِ دِف مَ ي هْ هْ ف مَ ,
مَ دِ دِ مَ لَّ مَ مَ هْ ف مَ , ف لَّ مَ مَ هْ دِ مَ هُ هُ هْ مَ مَ لمَ هْ ف مَ , ف لَّ هُ مَ دِ هُ هُ مَ هْ مَ امَف مَ , مَ مَ دِ عزُّ مَ هْ
مَ مَ ا هْ مَ , مَ مَ مَ ا هْ مَ مَ ا لَّ مَ مَ مَ مَ ع امَ هْ ف مَ , هْ أ مَ هْ دِ هُ مَ مَ هُ هْ ت هُ امَ هْ ف مَ , مَ مَ صللَّ اللههُ مَ لمَ مَ أفِّ دِ مَ هُ مَ ح لَّ ي ا لَّ دِ هْ مَ مَ لمَ ادِ دِ مَ مَ ص هْ ح دِ دِ مَ مَ أللَّ مَ
Hanya saja, biasanya dalam qunut nazilah ditambahkan sesuai kepentingan
yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka di
Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh, atau serangan Israel ke
Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara
kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.
Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan dengan pendapat ini adalah
pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa‘d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli
fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah tidaklah manzukh sejak
turunnya al-Qur‘an surat alimran ayat 128, sebagaimana hadist Abu Hurairah
riwayat Bukhari-Muslim yang artinya:
“Adalah Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat
dari raka‟at kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya
(I‟tidal) berkata : “Sami‟allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau
berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid,
Salamah bin Hisyam, „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah dan orang-orang yang lemah dari kaum
mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
76
jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang
pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri‟lu,
Dzakw an dan „Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian
sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat: “Tak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat
mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang
zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)
Menurut kalangan yang sepakat masih disunnahkannya qunut nazilah,
termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat bahwa berdalilkan
dengan hadits tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut adalah
pendalilan yang lemah, karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah
menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan
peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah
yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata: “Demi Allah, sungguh saya
akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya‟ dan Shubuh.
Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk
orang-orang kafir”. (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata
qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan
mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan
qunut nazilah.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
77
b. Qunut Witir
Pada umumnya di kalangan warga NU mempraktekkan qunut witir,
khususnya untuk qunut witir setelah rukuk pada separuh kedua bulan
Ramadhan. Meskipun diakui bahwa memang ada perbedaan pendapat dari
madzhab yang empat. Perbedaan tersebut yaitu:
1) Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan
diraka‘at yang ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat sunnah.
2) Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir
dilakukan setelah ruku‘.
3) Menurut Pengikut Imam Syafi‘i (syafi‘iyyah) qunut witir dilakukan pada
akhir shalat witir setelah ruku‘ pada separuh kedua bulan Ramadlan.
4) Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.
Dalam praktek peribadatan warga NU pada umumnya cenderung mengambil
pendapat Imam Syafi'i. Di antara dasar yang mendukung pendapat ini antara lain
dari Sahabat dan Tabi‘in.
Dari ‗Amr bin Hasan, bahwasanya “Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay
radiyallahu „anhu mengimami shalat (tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau
menyuruh Ubay radhiyallahu „anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan
Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Ma‘mar berkata: ―Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir sepanjang
tahun,
kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut),
demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari
Qatadah dan lain-lain‖. (Dalam kitab Mushannaf ‗Abdirrazzaq)
Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do‟a qunut sesudah ruku‟ dan ditambah
dengan (do‟a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
78
„alaihi wa sallam dan mendo‟akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan
bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu „anhum di
zaman „Umar radhiyallahu „anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang
Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu „anhum, Abdurrahman bin „Abdul Qari
berkata: „Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai
pertengahan Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu
Khuzaiimah)
c. Qunut Subuh
H.M Cholil Nafis dalam sebuah tulisannya berkaitan dengan masalah
qunut subuh, mencoba mengkompromikan dua pendapat yang bertentangan di
antara Ulama Salaf. Pendapat yang pertama datang dari pengikut Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa hukum qunut subuh tidak
disunnahkan. Sedangkan pendapat yang kedua, datangnya dari Imam Malik dan
Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa qunut subuh hukumnya sunnah hai‘ah.
Sebelum lebih jauh mengetahui bagaimana Cholil Nafis
mengkompromikan dua pendapat yang berbeda itu dan pada akhirnya
mengambil pendapat yang menetapkan qunut subuh sebagai amalan sunnah
terlebih, dahulu kita mengetahui dasar-dasar dari pendapat yang berbeda itu.
Pendapat yang menetapkan bahwa qunut subuh tidak disunnahkan adalah
berdasarkan hadis Nabi hadits Nabi SAW bahwa Nabi pernah melakukan doa
qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan
ijma‘ sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud:
―Diriwayatkan oleh Ibn Mas‟ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut
selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup,
kemudian Nabi SAW meninggalkannya.‖ (HR. Muslim)
Sedangkan pendapat madzhab yang menetapkan qunut subuh sunnah
menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku‘
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
79
(i‘tidal) pada raka‘at kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian
itu ―Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)‖. (HR. Ahmad dan
Abd Raziq).
Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu‘nya:
―Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi‟i) disunnahkan membaca qunut dalam
shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas
ulama‟ salaf‖. (al-Majmu‘, juz 1 : 504)
Cara pengkompromian yang dilakukan Chalil Nafis untuk mendapat
kesimpulan hukum (thariqatu al-jam‟i wa al-taufiiq) adalah, bahwa hadits Abu
Mas‘ud (dalil pendapat Hanafiyyah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah
melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas
bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya
menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat subuh
dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW.
Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan Syafi‘iyyah)
menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat subuh dan terus
melakukannya sampai beliau wafat.
Chalil sampai pada kesimpulan, bahwa ketika interpretasi sebagian ulama
bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun
nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan
pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum
melakukan edoa qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab‟adh, yakni ibadah
sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud
sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam.
Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut, yakni:
Hadis Anas r.a.:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan atas
mereka, kemudian meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang subuh, beginda
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
80
masih berqunut sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih oleh al-Hakim, al-
Baihaqi, al-Daruquthni dll.)
Riiwayat dari al-Awwam bin Hamzah, katanya: “Aku bertanya Abu Usman
mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia berkata: Selepas rukuk. Aku berkata: Dari
siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar, Umar dan Ustman. (HR al-Baihaqi dan
dianggapnya sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Mua‘qqal, katanya: “Ali berqunut
pada sembahyang subuh.”
Di dalam al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi‘ berkata dari Fithr dari Atho‘,
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berqunut pada sembahyang subuh, dan sesungguhnya
Abu Musa al-Asy‟ari, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan al-Hasan berqunut pada
sembahyang subuh.”
Riwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Rafi‘ bahwa kedua-duanya
bersembahyang subuh di belakang Umar, dia berqunut selepas rukuk.
2. Muhammadiyah
a. Qunut Nazilah
Dalam masalah qunut nazilah Tarjih Muhammadiyah menampung adanya
pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan, disebabkan
pemahaman yang berlainan mengani hadis yang menerangkan bahwa
Rasulullah Saw tidak mengerjakan qunut Nazilah setelah diturunkan surat Ali
Imran ayat 128:













Artinya:
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah
menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu
orang-orang yang zalim.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
81
Dalam doa itu Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah
melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka.
Kemudian turunlah ayat di atas.
Pemahaman Tarjih yang timbul dari riwayat tersebut ialah:
1. Bahwa qunut nazilah tidak boleh lagi diamalkan
2. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan
permohonan terhadap perorangan.
b. Qunut Subuh
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa di kalangan
Muhammadiyah pada umumnya, qunut yang dibaca khusus pada raka‘at kedua
setelah rukuk dalam shalat subuh tidak ada. Tarjih Muhammadiyah
menjelaskannya lebih lanjut sebagaimana uraian berikut:
Di samping perkataan qunut yang berarti ‗tunduk kepada Allah dengan
penuh kebaktian‘, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut
yang berarti ―berdiri (lama) dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur‘an dan
berdoa sekehendak hati‖.
Dalam perkembangan sejarah fiqh, demikian Abdul Munir Mulkhan, di
masa lampau orang atelah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang
dinamakan qunut, yakni: ―berdiri sementara‖ pada shalat shubuh sesudah ruku‘
pada raka‘at kedua dengan membaa doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan
seterusnya‖
Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut
berdasarkan pemikiran bahwa:
1) Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka
muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat tidak
khusus hanya ditamakan pada shalat subuh.
2) Bacaan doa: ―Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya‖ tersebut
tidaklah sah.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
82
3) Penerapan hadis hasan tentang doa tersebut dalam phoin (2) untuk khusus
dalam qunut subuh tidak dibenarkan.
Terus terang, penulis belum menemumukan dasar yang rinci dari
pengistimbathan hukum qunut subuh oleh tarjih Muhammadiyah tersebut. Namun,
dalam sebuah situs pdmbontang.com, situs resmi Muhamamdiyah kota Bontang,
terdapat sebuah tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulkarnain, yang menyangkal
disunnahkannya qunut subuh.
Abu Muhammad Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: ―Terus-menerus
Rasulullah shollallahu ‗alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat subuh sampai
beliau meninggal dunia‖ yang dikeluarkan oleh ‗Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf
3/110 no.4964, terdapat dalam kitab-kitab lain adalah ―mungkar”. Menurutnya,
hadits ini memang dishahihkan oleh Muhammad bin ‗Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim
sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam
Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata:
―Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi yang meriwayatkannya dari
Ar-Rob i‘ bin Anas adalah Abu Ja‘far ‗Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi
(dikritik)‖. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : ―Laysa bil qowy (bukan orang
yang kuat)‖. Berkata Abu Zur‘ah: ―Yahimu katsiran (Banyak salahnya)‖. Berkata Al-
Fallas : ―Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)‖. Dan berkata Ibnu Hibban: ―Dia bercerita
dari rawi-rawi yang masyhur hal-hal yang mungkar‖.
Lebih jauh, Abu Muhammad Dzulkarnain mengutip pendapat Ibnul Qoyyim
dalam Zadul Ma‘ad jilid I setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu
Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu
Ja‘far Ar-Rozy, beliau berkata: ―Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja‘far Ar-Rozy
adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai
berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia
bersendirian dengannya‖.
Hadits yang sedang kita bahas itu memiliki ini memiliki tiga jalan dari Anas
bin Malik radhiallahu ‗anhu, tetapi semuanya jalan tersebut dianggap lemah. Di
antara mereka yang melemahkannya adalah adalah Ibnul Jauzi dalam al-‗Ilal al
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
83
Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta‘liq ‗ala al Baihaqi, Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu‘ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma‘ad (1/99), al Hafidz
Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245). Dan diantara ulama mutaakhkhirin
adalah al Albani dalam silsilah ad Dha‘ifah (1/1238)
Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan logika; yaitu bagaimana
mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do‘a rutin
sementara tidak diketahui sama sekali do‘a yang dibaca itu. Tidak dalam hadits
shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling mengerti tentang sunnah
seperti Ibnu Umar radhiallahu‘anhuma mengingkarinya dengan mengatakan: “Kami
tidak pernah melihat dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi
Shalallahu ‗alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu‘anhu
bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana
termaktub dalam Majmu‟ Fatawa.
Selain itu, beberapa dalil yang biasanya dipakai untuk menyangkal pendapat
yang mengatakan qunut subuh adalah sunnah adalah hadist berikut:
Dari Abu Malik al-Asyaja‘i, katanya: ―Aku berkata kepada ayahku: ‗Wahai
ayahku, sesungguhnya engkau pernah bersembahyang di belakang Rasulullah
s.a.w., Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, di sini di Kufah selama hampir lima tahun,
adakah mereka berqunut?‘ Dia menjawab: ‗Wahai anakku itu adalah bid‘ah.‘ (HR
Ahmad, al-Tarmizi & Ibnu Majah)
Ibnu Mas‘ud, berkata: ―Rasulullah saw. tidak pernah berqunut di dalam
sembahyangnya sekalipun.‖ (HR al-Thabrani, al-Baihaqi & al-Hakim)
Sesungguhnya Nabi saw. pernah berqunut sebulan lamanya, kemudian
baginda meninggalkannya (tidak berqunut lagi). (HR Ahmad)
Meski Muhammadiyah berprinsip untuk tidak bermadzhab, namun dalam
pendapatnya pada masalah qunut, sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan
Hambali.
FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
84


1 komentar:

Posting Komentar